TEKNOLOGI

Pelayanan Kesehatan Dengan Aplikasi Virtual Reality (VR)

Kita telah menyaksikan perkembangan teknologi virtual Reality (VR) secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, VR bukan lagi istilah yang umum digunakan hanya untuk gamer atau teknisi saja. Faktanya, VR dalam praktik pelayanan kesehatan menjadi semakin lazim – dengan teknologi yang tergabung dalam simulasi operasi, terapi fobia, operasi robotik dan pelatihan keterampilan.

VR memberikan alternatif lanjutan melalui pendekatan pelatihan konvensional, sekarang mahasiswa kedokteran dapat meningkatkan keterampilan melalui latihan langsung menggunakan lapisan kulit hingga ke tulang. Demikian pula, dokter spesialis bedah dapat berlatih melakukan operasi tiruan melalui pengalaman realistis dengan kesan mendalam tanpa menggunakan tubuh asli.

Virtual Reality Meningkatkan Efisiensi Praktik Dokter
Pendidikan kedokteran dan praktik dokter spesialis bedah menggunakan sebagian besar buku teks dua dimensi (2D) tradisional, kuliah tambahan, pembelajaran online dan kadaver untuk memahami anatomi dan patologi spesifik pasien. Tapi, realitas berbasis teknologi, seperti VR, bisa memberikan kesan lain – pengguna dapat mengetahui gambaran tubuh tiga dimensi yang lengkap, dalam lingkungan virtual yang nyaman dengan kesan nyata.

Berkaitan dengan fakta bahwa kadaver sulit untuk didapatkan (mahasiswa kedokteran biasanya hanya berlatih pada satu kadaver sebelum melakukan operasi pada pasien rumah sakit yang sebenarnya), Dr Leonard Kranzler, MD, Dokter spesialis saraf di Universitas Chicago, mengatakan “saat ini dokter masih belajar sambil melakukan daripada belajar sambil berlatih. Mereka harus berlatih sebelum melakukannya terhadap pasien”. Mengomentari akan peningkatan kebutuhan latihan, Justin Barad, seorang dokter spesialis ortopedi anak (juga CEO dan pendiri Osso VR) mengatakan bahwa “dalam pendidikan kedokteran, dikenal kata-kata ‘melihat satu, melakukan satu, mengajar satu’, namun itu hanyalah untuk membangun kepercayaan diri; faktanya Anda harus mempelajari 50 sampai 100 kasus agar bisa menjadi mahir.”

Dengan bantuan headphone, mikrofon, kacamata VR, pengendali handset, dan sensor laser di dinding yang mengikuti setiap gerakan – mahasiswa kedokteran dapat bertindak atau memberikan perintah berdasarkan ‘keputusan klinis’ yang mereka tentukan kepada pasien virtual. Misalnya, mereka dapat memasang headset dan mulai “menggerakan” tulang, otot, saraf dan organ secara mandiri, serta memperbesar hingga tingkat mikroskopik bila diperlukan. Bersamaan dengan itu, dosen dapat mengamati pada tampilan monitor untuk membimbing mahasiswa selama praktik. Dengan cara ini, mereka akan memahami dengan lebih baik mengenai berbagai hubungan antara otot, saraf, dan organ tubuh.

VR: Memberikan Pelayanan Medis Yang Lebih Baik Kepada Pasien
Beberapa rumah sakit di Amerika Serikat telah bereksperimen dengan menggunakan VR untuk manajemen nyeri dan terapi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Meskipun sulit untuk mengatasi trauma yang dirasakan, namun program VR dapat membantu pasien untuk menenangkan diri dan mengendalikan perasaan, pemikiran, dan tindakan mereka dalam situasi ini.

Terdapat penelitian berkelanjutan untuk mempelajari apakah penggunaan teknologi VR dapat menguntungkan dokter spesialis anestesi anak untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang. Hal ini mungkin bisa membantu mengurangi efek samping penggunaan obat penghilang rasa sakit pada anak-anak.

Selain itu, teknologi VR dapat membantu mempermudah proses penentuan diagnosis penyakit. Pasien mungkin kesulitan untuk menerjemahkan gambar 2D hasil MRI . Oleh karena itu, teknologi VR memungkinkan dokter untuk memperlihatkan anatomi tubuh pasien sendiri dengan tampilan VR 360 derajat – juga, memudahkan dokter untuk menjelaskan perlunya intervensi.

Di India, tim dokter spesialis bedah di All India Institute of Medical Sciences (AIIMS), baru-baru ini menggunakan perangkat bedah Immersive Touch Mission Rehearsal VR untuk memisahkan kembar kraniopagus yang menyatu di kepala. “Kami bisa melihat, merasakan dan mempelajari jaringan yang terhubung, mendiskusikan anatomi, dan memeriksa jalur bedah untuk mempraktikkan operasi beberapa kali dan merencanakan prosedur bedah yang paling efektif,” jelas Dr Deepak Gupta, yang memimpin tim bedah beranggotakan 40 dokter. Mereka berhasil memisahkan bagian otak kembar siam – setelah menjalani operasi selama 22 jam. (MIMS/ Kominfo)